Tatkala Sengkuni Gagal Maning
Masyarakat Jawa dan Bali pasti mengenal tokoh Sangkuni
atau Sengkuni, Raja Gandara yang “betah” ngendog di Kerajaan Astinapura, karena
saudarinya menikah dengan Raja Dastarata ayah dari para 100 Kurawa. Kisah Sengkuni
juga muncul dalam pagelaran Wayang Kulit, baik di Bali maupun di Jawa, juga dalam
pertunjukan Wayang Wong, yang diperankan oleh orang tentu saja.
Sengkuni sedang memegang dadu dalam serial TV Mahabaratha, made in Bollywood, India, yang sempat ngetop di Indonesia. (coretanpemuda96.blogspot.com) |
Adegan Sengkuni sering muncul “lumayan” dominan di
pertunjukan itu karena memiliki suara dan dialog yang sering dibuat lucu, sehingga
bisa membuat para penonton tertawa. Namun, Sengkuni lah yang membuat Panca
Pandawa atau Prabu Yudistira, putra Pandu kehilangan kerajaannya karena
dikalahkan dalam permainan dadu oleh Kurawa. Tentu saja dadu itu milik Sengkuni.
Begitulah sepenggal kisah Sengkuni dalam epos Mahabaratha, sebuah prosa atau
novel kuno yang sangat panjang dari India, yang menyebar di beberapa negara,
bukan hanya Indonesia.
Di dunia nyata, yaitu di kancah perpolitikan Indonesia
ada juga tokoh yang entah kenapa diasosiakan dengan Sengkuni. Tokoh terkenal ini biasanya meramaikan setiap ada peristiwa politik seperti Pilpres
atau Pilkada, dan isu-isu tertentu.
Rudi S. Kamri bersama fansnya di sebuah event di Jakarta, 2019 (Dok.Rudi) |
Tentu ada pro dan kontra yang mengikutinya.
Inilah yang kini menjadi perhatian Rudi S. Kamri, sang pemerhati politik yang
peduli pada masalah sosial serta budaya Nusantara.
Apa sudut pandang Rudi S. Kamri, Chairman dari RdS
Institute yang berbasis di Jakarta ini? Lebih baik kita baca artikel lengkapnya
sekarang, sehingga menjadi terang benderang.
Akhir Kisah Tragis Sang Sengkuni
Oleh:
Rudi S Kamri
'Gagal Maning' rupanya telah menjadi nama tengah abadi
seorang Amien Rais. Kegagalan demi kegagalan begitu akrab dari perjalanan
manusia sepuh berumur 76 tahun ini. Digadang-gadang fansnya menjadi tokoh
reformasi, tapi ditolak oleh para pelaku sebenarnya dari gerakan reformasi
1998. Kemudian berambisi menjadi Presiden di negeri ini, tapi tidak pernah
berhasil sampai ujung hayatnya. Kemudian berusaha menjegal Jokowi dua kali
dalam Pilpres, juga gagal total.
Hal yang paling menyakitkan dan sangat ironis, bahkan
untuk mempertahankan partai yang didirikan dengan susah payah pun gagal total.
Amien Rais telah tercerabut dari Partai Amanat Nasional (PAN). Dan lebih tragis
lagi, yang menumbangkan dominasi Mbah Amien di PAN tak lain tak bukan sang
besan Zulkifli Hasan. Ini mungkin pukulan telak yang paling menyakitkan
sekaligus memalukan yang diterima Amien Rais. Entah apa yang akan terjadi
dengan perkawinan anak mereka akibat perseteruan politik kedua orangtuanya.
Amien Rais, mantan Ketua MPR, pernah jadi Ketua Umum PAN & Mumhamadiyah bersama pendukungnya (merdeka.com) |
Berita terbaru, Amien Rais bersama Din Syamsudin dan Sri
Edi Swasono pun gagal menggugat Perppu tentang Corona di Mahkamah Konstitusi
(MK). Hakim MK menganggap para kelompok tua tersisih ini sudah kehilangan objek
gugatannya karena Perppu tersebut sudah disahkan jadi Undang-Undang. Artinya di
sini jelas gerakan orang tua yang tidak mawas diri ini sama sekali tidak
dianggap dan tidak mendapat perhatian dari Parlemen.
Kini dengan laskar sakit hati yang tersisa, Amien Rais
ingin mendirikan partai baru sebagai tandingan dari PAN. Entah apa namanya,
mungkin PAN Baru yang kepanjangan dari Partai Amien Ngamuk, Partai Amien
Ngambek atau Partai Amien Norak. Dari sikapnya yang tidak legowo menerima
kekalahan ini menunjukkan dengan terang benderang Amien Rais bukan seorang yang
berjiwa demokratis. Sejatinya dia hanyalah seorang otoriter dan maniak
kekuasaan tulen.
Tapi mengingat usianya yang sudah mendekati akhir
perjalanan dan ditambah popularitasnya di akar rumput sudah relatif habis,
upaya pendirian partai baru yang digagas Amien Rais saya prediksi akan sia-sia
belaka. Ibarat menegakkan benang basah, keberadaan partai baru tersebut tidak
akan mendapat respons positif dari publik. Rekam jejak kegagalan yang selalu
berulang akan menjadi catatan kelam dari masyarakat tentang sosok Amien Rais.
Hukum tabur tuai sedang terjadi. Inilah karma setimpal
dan pantas yang harus diterima oleh Amien Rais, setelah menjatuhkan
kredibilitas Habibie dan Gus Dur sehingga tersingkir dari kursi kepresidenan di
negeri ini. Dan ini juga harga yang harus dibayar Amien Rais karena berulang kali
memfitnah dan menghina Presiden Jokowi selama ini.
Sebuah epilog tragis bagi seorang petualang politik yang
akhirnya harus menjadi gelandangan politik seperti yang sudah diprediksi oleh
Gus Dur bertahun- tahun lalu.
Salam SATU Indonesia
13052020
Comments
Post a Comment