Indonesia Terserah Atau Pantang Menyerah?
Setiap 20 Mei Indonesia memperingati "Kebangkitan Nasional". Peristiwa ini merupakan sebuah kesadaran tentang nasionalisme dan patriotisme yang bangkit pada paruh pertama abad ke-20, dimana rasa sebagai "orang Indonesia" telah tumbuh. Ketika itu, menurut id.wikipedia.org pada abad tersebut ditandai dua peristiwa penting, berdirinya Boedi Oetomo pada 20 Mei 1908, kemudian Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Terserah saja atau kita bangkit? (beritabaik.id) |
Sejarah mungkin akan hanya tinggal sejarah jika sebagai sebuah bangsa, kita melupakan makna yang ada di balik peringatan Kebangkitan Nasional, apalagi ketika kita sedang menghadapi saat-saat sulit seperti sekarang ini, dimana Indonesia bersama ratusan negara lainnya kena serangan COVID-19.
Inilah yang menjadi perhatian Rudi S. Kamri, seorang penulis aktif serta pemerhati politik yang punya kepedulian tinggi pada masalah sosial dan budaya. Kini di saat gencarnya permintaan Presiden Jokowi agar kita bisa hidup damai bersama virus Corona, Rudi yang merupakan Chairman dari RdS Institute berkedudukan di Jakarta, merespon tagar #IndonesiaTerserah yang juga sempat mendapat reaksi dari media asing.
Rudi S. Kamri Chairman RdS Institute (dok.pribadi) |
Lalu apa kata Rudi S. Kamri yang sering menjadi pembicara dan moderator di berbagai seminar penting ini?
Kebangkitan Nasional:
Indonesia Pantang Menyerah Bukan
Terserah
Oleh:
Rudi S Kamri
Beberapa hari terakhir tagar Indonesia Terserah menjadi
trending di dunia maya. Secara empati saya maklum munculnya tagar tersebut. Hal
itu sebagai bentuk ekspresi "kemarahan" para tenaga medis menyikapi
kebebalan sebagian warga di beberapa kota yang mengabaikan protokol kesehatan
untuk memutus penyebaran Covid-19.
Sangat masuk akal kekecewaan para tenaga medis tersebut.
Pada saat mereka bertaruh nyawa di garis depan dalam peperangan melawan virus
corona, bahkan beberapa puluh tenaga medis telah gugur dalam tugas, ada
sebagian masyarakat yang seenak sendiri berperilaku bodoh dan egois yang bisa
membahayakan keselamatan dirinya dan orang lain. Itu sangat menyakitkan.
Sebagian masyarakat bebal tersebut disebabkan karena
ketidakpedulian dan ketidakpatuhan mereka terhadap aturan dan protokol
kesehatan yang ditetapkan. Sebagian lagi harus diakui sebagai akibat kekacauan
manajemen komunikasi publik yang dilakukan oleh Pemerintah.
Harus diakui beberapa pejabat negara melakukan komunikasi
publik yang ngawur di depan media. Hal itu membuat masyarakat dan petugas
lapangan bingung. Seperti Menko Perekonomian yang tiba-tiba berbicara tentang
rencana pelonggaran PSBB untuk menghidupkan gairah ekonomi padahal hal itu
masih dalam perencanaan yang masih mentah. Menteri Perhubungan yang
'slonong-boy' membuka izin moda transportasi publik tanpa koordinasi. Kebijakan
yang tidak komprehensif, kemudian ditulis media massa dengan asal saja, tentu
saja menimbulkan dampak negatif, salah satunya menimbulkan kerumunan massa di
bandara, terminal dan stasiun.
Ketidaksiplinan sebagian masyarakat dan kacaunya koordinasi
antar pejabat negara itulah yang menimbulkan "kemarahan" para petugas
medis. Suatu respons yang wajar yang manusiawi.
Namun apabila kita melihat data yang dikeluarkan Badan Pusat
Statistik (BPS), ternyata 82% masyarakat Indonesia patuh terhadap berbagai
aturan dan protokol kesehatan yang ditetapkan Pemerintah dalam masa darurat
pandemi Covid-19. Artinya hanya 18% saja masyarakat yang tidak patuh dan bebal.
Apabila kita melihat angka ini, sangat tidak adil kalau
masyarakat bebal yang minoritas ini membuat semangat kita untuk memerangi virus
corona ini menjadi layu dan kehilangan semangat. Seharusnya kita lebih
menghargai 82% masyarakat yang patuh dan telah berjuang mengorbankan
kepentingan pribadi demi membantu Pemerintah untuk memutus rantai penyebaran
covid-19.
Indonesia Pantang Menyerah. Itulah tagar yang harus kita
suarakan. Indonesia tidak boleh kalah dalam peperangan melawan pandemi virus
corona. Kita harus kembali mengobarkan semangat para petugas medis yang sedang
berjuang keras di garis depan.
Syaratnya adalah pertama, masyarakat bebal yang melanggar
aturan dan protokol kesehatan harus diberikan sanksi keras. Kedua, Pemerintah
mutlak harus memperbaiki manajemen komunikasi publik, agar tidak terkesan
mencla-mencle. Hanya Presiden atau juru bicaranya dan Kepala Gugus Tugas
Percepatan Penanganan Covid-19 atau juru bicaranya yang boleh melakukan
komunikasi publik. Di level daerah hanya Gubernur, Bupati atau Walikota yang
melakukan komunikasi publik secara langsung kepada masyarakat dan media.
Pejabat negara di luar yang tersebut di atas harus dilarang
bicara dengan media. Mereka harus fokus bekerja dalam senyap mendukung kerja
Gugus Tugas Covid-19. Kalau manajemen komunikasi publik Pemerintah tidak
diperbaiki dan tidak ada upaya menghilangkan tumpang tindih kebijakan teknis,
maka akan kembali terjadi kekacauan demi kekacauan di masyarakat.
Kita tidak boleh lagi meneriakkan kata "terserah"
sebagai ekspresi keputusasaan dalam menghadapi situasi darurat seperti saat
ini. Semangat pantang menyerah yang merupakan genetika dasar leluhur negeri ini
harus kembali kita bangun dan kita gaungkan. Ketidakpedulian dan kebebalan
sebagian kecil masyarakat harus menjadi musuh bersama. Sanksi hukum dan sanksi
sosial harus kita siapkan untuk membuat mereka jera.
So, mari kita gaungkan tagar kebangsaan kita:
#IndonesiaPantangMenyerah
#IndonesiaTidakBolehKalah
#IndonesiaBangkit
Salam SATU Indonesia
20052020
Comments
Post a Comment